KRITERIA PEMIMPIN DALAM AL-QUR'AN

Dalam al-Qur’an telah dijelaskan
mengenai kriteria pemimpin yang
baik. Allah SWT berfirman, “Kami
telah menjadikan mereka itu
sebagai pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah
Kami, dan telah Kami wahyukan
kepada mereka untuk senantiasa
mengerjakan kebajikan,
mendirikan shalat, menunaikan
zakat, dan hanya kepada Kamilah
mereka selalu mengabdi,” (QS. Al-
Anbiya’: 73).
Ayat ini berbicara pada tataran
ideal tentang sosok pemimpin
yang akan memberikan dampak
kebaikan dalam kehidupan rakyat
secara keseluruhan, seperti yang
ada pada diri para nabi manusia
pilihan Allah. Karena secara
korelatif, ayat-ayat sebelum dan
sesudah ayat ini dalam konteks
menggambarkan para nabi yang
memberikan contoh keteladanan
dalam membimbing umat ke jalan
yang mensejahterakan umat lahir
dan bathin. Tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa ayat ini
merupakan landasan prinsip dalam
mencari figur pemimpin ideal yang
akan memberi kebaikan dan
keberkahan bagi bangsa
dimanapun dan kapanpun.
Pemimpin yang bisa bersikap adil.

Keadilan adalah lawan dari
penganiayaan, penindasan dan
pilih kasih. Keadilan harus
dirasakan oleh semua pihak dan
golongan. Diantara bentuknya
adalah dengan mengambil
keputusan yang adil antara dua
pihak yang berselisih, mengurus
dan melayani semua lapisan
masyarakat tanpa memandang
agama, etnis, budaya, dan latar
belakang. Lihat QS. Shad (38): 22,
“Wahai Daud, Kami telah
menjadikan kamu khalifah di bumi,
maka berilah putusan antara
manusia dengan hak (adil) dan
janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu.”

Pada surat al-Baqoroh ayat 124,
nabi Ibrahim sebagai seorang
Imam (pemimpin), ingin sekali
meneruskan dan mewariskan
kepemimpinannya kepada anak
cucu. Itu dibuktikan dengan
permohonannya kepada Alllah SWT
dengan kalimat, “Dan saya mohon
(juga) dari keturunanku.” Surat al-
Furqon ayat 74 pun kelihatannya
tidak jauh berbeda. Ayat itu berisi
permohonan seseorang untuk
melanggengkan kepemimpinannya
kepada anak cucu dan
golongannya sendiri. Hanya saja
sistem monarki atau sumber dan
pusat kepemimpinan yang selalu
berkisar pada golongan tertentu,
nampaknya diberi syarat oleh Allah
dengan “Janjiku (ini) tidak
mengenai orang-orang yang
dzalim.” Ungkapan ini
menunjukkan, bahwa sifat dzalim
atau tidak dapat berbuat adil
merupakan watak yang tidak
dimaui oleh Allah dalam
melestarikan, melanggengkan dan
merebut tahta kepemimpinan.

Di dalam al-Qur’an juga dijumpai
ayat yang berhubungan dengan
sifat pokok yang harus dimiliki
oleh seorang pemimpin, yang
terdapat dalam surat As-Sajdah
(32): 24. “Kami jadikan mereka
pemimpin ketika mereka sabar/
tabah.” Kesabaran dan ketabahan
dijadikan pertimbangan dalam
mengangkat seorang pemimpin.
Sifat ini merupakan syarat pokok
yang harus ada dalam diri seorang
pemimpin.

Salah satu sosok pemimpin yang
disebutkan dalam al-Qur’an
adalah Yusuf as. Dalam QS. Yusuf:
55, Allah SWT mengabadikan
perkataan Yusuf as kepada Raja
Mesir: “Yusuf berkata: ‘Jadikanlah
aku bendaharawan negara (Mesir);
Sesungguhnya aku adalah orang
yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan.”

Dari ayat diatas, kita mengetahui
bahwa Yusuf as itu hafiizh (bisa
menjaga) dan ‘alim (pintar,
pandai). Inilah dua sifat yang harus
dimiliki oleh seseorang yang
“bekerja untuk negara.” Dua sifat
tersebut adalah al-hifzh yang tidak
lain berarti integritas, kredibiltas,
moralitas, dan al-‘ilm yang tidak
lain merupakan sebentuk
kapabilitas, kemampuan, dan
kecakapan.
Para pakar telah lama menelusuri
al-Qur’an dan Hadits dan
menyimpulkan minimal ada empat
kriteria yang harus dimiliki oleh
seseorang sebagai syarat untuk
menjadi pemimpin. Semuanya
terkumpul di dalam empat sifat
yang dimiliki oleh para nabi/ rasul
sebagai pemimpin umatnya, yaitu:

(1) Shidiq, yaitu kebenaran dan
kesungguhan dalam bersikap,
berucap dan bertindak di dalam
melaksanakan tugasnya.
Lawannya adalah bohong.

(2) Amanah, yaitu kepercayaan
yang menjadikan dia memelihara
dan menjaga sebaik-baiknya apa
yang diamanahkan kepadanya,
baik dari orang-orang yang
dipimpinnya, terlebih lagi dari
Allah SWT. Lawannya adalah
khianat.

(3) Fathonah, yaitu kecerdasan,
cakap, dan handal yang melahirkan
kemampuan menghadapi dan
menanggulangi persoalan yang
muncul. Lawannya adalah bodoh.

(4) Tabligh, yaitu penyampaian
secara jujur dan bertanggung
jawab atas segala tindakan yang
diambilnya (akuntabilitas dan
transparansi). Lawannya adalah
menutup-nutupi (kekurangan) dan
melindungi (kesalahan)

Facebook
Twitter

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gugon tuhon | ilmu jawa | basa jawa |

Paribasan jawa | peribahasa jawa

KUMPULAN BAND ANAK NGAWI